EnglishIndonesian
EnglishIndonesian

Pramarin ulas Permasalahan Pelaut dari Sistem Pendidikan hingga Peraturan

  1. Home
  2. »
  3. Event
  4. »
  5. Pramarin ulas Permasalahan Pelaut dari…

MN, Jakarta – Perkumpulan Praktisi Maritim Indonesia (Pramarin) beberapa waktu lalu menggelar diskusi tentang masalah pelaut Indonesia di gedung Aditya Aryaprawira, Kelapa Gading, Jakarta, (19/10). Diskusi yang dibuka oleh Ketua Dewan Pembina Pramarin, Ir. Adharta Ongkosaputra itu bertujuan untuk mencari solusi atas permasalahan yang melanda dunia kepelautan Indonesia saat ini. Dari masalah kwalitas pelaut baik kemampuan bahasa maupun teknis hingga masalah rekruitmen oleh perusahaan-perusahaan pelayaran menjadi pokok bahasan dalam diskusi tersebut.
Benturan antar peraturan di dalam negeri juga menjadi topik hangat dalam diskusi yang dihadiri para komunitas pelaut, perusahaan pelayaran dan stakeholder terkait lainnya.

“Kita harus mencari solusi yang akan kita sampaikan kepada pemerintah. Maka dari itu diskusi ini harus memutuskan solusi tersebut,” ujar Wakil Ketua Umum 10 Pramarin Bidang Pendidikan, pelatihan dan Pengembangan SDM, Capt. Asnar Sitompul yang memandu jalannya diskusi tersebut.
Ia menyatakan perbaikan kurikulum dan silabus dalam dunia pendidikan pelaut juga menjadi sorotan Pramarin dalam memandang permasalahan pelaut saat ini. Dalam mewujudkan hal itu, Pramarin akan menggandeng stakeholder lainnya untuk membangun pelaut Indonesia yang berkwalitas.
Capt. Akhmad Subaidi dari CIMA (Consortium Indonesian Manning Agency) mengulas kendala-kendala dalam manning yang sangat banyak saat ini, sehingga hal itu berdampak pada turunnya kepercayaan dunia internasional kepada pelaut Indonesia.

Masih banyak kelemahan di PM 84 tahun 2013, yang justru mempersulit perusahaan untuk memberangkatkan pelaut ke luar negeri,  dan juga tidak adanya kontrol dari pemerintah sehingga masih banyak perusahaan tanpa memiliki SIUPPAK dengan mudah dapat memberangkatkan pelaut ke luar negeri.” kata Capt. Akhmad Subaidi.
Standart pelatihan pelaut yang sejatinya mengacu pada ketentuan STCW, baik pada kurikulum maupun metode pelatihannya, tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh training center. Kebanyakan yang terjadi adalah training center hanya memenuhi persyaratan administrasi dan memberikan sertifikat saja.
Sehingga pelatihan tersebut hanya bersifat formalitas saja untuk mendapatkan sertifikat, tanpa mempedulikan apakah pelaut telah memiliki pengetahuan kompetensi dan keterampilan yang layak yang sesuai dengan sertifikat yang dipegangnya.
“Bukannya bertambah kwalitas pelaut Indonesia tetapi saat ini malah mengalami penurunan. Banyak lulusan-lulusan sekolah pelayaran kita yang belum siap bekerja di kapal. Masalah Bahasa juga masih menjadi kendala utama pelaut kita,” bebernya.
Ia pun telah berkali-kali mengusulkan perbaikan kwalitas kepada pemerintah dalam hal ini BPSDM Kementerian Perhubungan dan Ditjen Perhubungan Laut, namun belum mendapat respons yang memuaskan.
Menurutnya, ada kadet yang tidak pernah berlayar atau tidak memiliki masa layar yang cukup sesuai peraturan namun meraih ijazah bahkan menempati jabatan sebagai perwira di kapal. Banyak pemegang Certificate of Competency (COC) maupun Certificate of Proficiency (COP) sesuai dengan STCW Amandemen Manila 2010 tetapi tidak punya kwalitas.
Kesempatan kerja di kapal-kapal asing sebenarnya besar sekali, masih banyak perusahaan asing meminta pelaut Indonesia, akan tetapi fakta di lapangan begitu sulitnya mendapatkan pelaut yang memenuhi syarat.
“Mana ada perusahaan mau menyerahkan kapalnya yang begitu mahal harganya kepada pelaut yang tidak kompeten.  Kita tidak kekurangan jumlah pelaut, yang benar adalah kita kekurangan pelaut yang berkwalitas,” tegasnya.
Selanjutnya, tidak ada data yang valid untuk pelaut Indonesia, berapa jumlah pelaut Indonesia yang aktif, berapa jumlah perwira/rating, berapa jumlah yang bekerja di dalam negeri, dan berapa jumlah yang bekerja di luar negeri. CIMA mengungkapkan belum memiliki data pasti. “Dirjen Hubla pun pernah menanyakan itu kepada CIMA, loh seharusnya kan pemerintah lebih tahu,” selorohnya.
Masalah kepelautan yang dibahas kemudian ialah soal adanya benturan antara Undang-undang BPJS dan Undang-undang Pelayaran terkait jaminan pelaut. Menurutnya, dengan adanya BPJS menjadi double charge bagi perusahaan.
“Pelaut saat ini diwajibkan ikut BPJS Ketenagakerjaan, padahal segala tunjangan dan santunan perlindungan pelaut sudah diatur dalam PP 7/2000. Jadi ini kan menambah benturan peraturan yang ada,” tegasnya lagi.
“Semua yang terkait dengan Perjanjian Kerja Laut itu sudah ditentukan dan wajib sesuai dengan standar minimum yang berpedoman kepada peraturan nasional dan internasional, termasuk yang berkaitan dengan jaminan sosial (asuransi) pelaut,” pungkasnya.
Program BPJS Ketenagakerjaan yang ada saat ini jauh dari pemenuhan ketentuan yang ada di dalam PP 7/2000.
Pramarin sendiri akan menampung semua masukan-masukan dari diskusi tersebut. Dan selanjutnya siap menjembatani antara stakeholder terkait dengan pemerintah untuk mencari formula terbaik demi kemajuan maritim Indonesia.

(Adit/MN)