EnglishIndonesian
EnglishIndonesian

Menilik Peluang Kerja Pelaut Indonesia di Eropa

  1. Home
  2. »
  3. News
  4. »
  5. Menilik Peluang Kerja Pelaut Indonesia…


Jabat Tangan: Capt. Akhmad Subaidi (tengah)  
usai Diskusi Panel soal peluang kerja  
pelaut Indonesia di Internasional

MN, Jakarta – Dalam rangka menentukan kebijakan terhadap permasalahan pelaut Indonesia, Balai Besar Pendidikan Penyegaran dan Peningkatan Ilmu Pelayaran (BP3IP) menggelar diskusi panel dengan tema ‘Strategi Nasional Dalam mewujudkan Pelaut Indonesia Menguasai Pasar Internasional’ di Hotel Holiday, Kemayoran, Jakarta (6/12).
Bertindak sebagai salah satu pemrasaran dalam diskusi itu, Direktur BSM CSC Indonesia Capt Akhmad Subaidi menyampaikan soal peluang kerja pelaut Indonesia di pasar Eropa. Sebagaimana diketahui bersama, industri pelayaran di Eropa masih menempati posisi terbaik dalam dunia kemaritiman global.

Pria yang juga menjabat sebagai Ketua bidang Kepelautan di CIMA (Consortium Indonesian Manning Agency) ini menjabarkan terlebih dahulu kiprah CIMA sejak awal berdirinya.
“Didirikan pada tahun 19990, CIMA berdiri dengan tujuan untuk mempersatukan seluruh elemen manning agent dalam suatu wadah yang positif untuk kemajuan bangsa dan negara,” terang Subaidi biasa akrab disapa.
Dalam tahun pendiriannya, anngotanya mencapai 46 perusahaan. Kemudian di tahun 2000 meningkat menjadi 86 perusahaan dan saat ini jumlahnya menurun  menjadi 57 perusahaan.
“Meningkatnya keanggotaan CIMA di tahun 2000 karena diberikan kewenangan untuk melaksanakan endorsement bagi para pelaut yang akan bekerja di luar negeri oleh Ditjen Pajak RI,” terangnya.
Namun setelah dihapuskannya fiskal endosrsmentberakibat hanya terbatasnya pada kegiatan internal anggota CIMA. Sejak diberlakukannya Permen 84/2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, bagi CIMA terbuka lagi peluang pengabdian kepada bangsa dan negara melalui penyaluran lapangan kerja bagi pelaut Indonesia yang profesional.
“Ini sesuai visi kami yaitu menjadi mitra pemerintah dalam membina dan menghimpun perusahaan perusahaan pengawakan kapal,” tandas Subaidi.
Mengenai Supply & Demand global market tahun 2015, berdasarkan data BIMCO & ICS, di mana permintaan terhadap pekerja kapal sangat tinggi, maka pelaut Indonesia sangat berpotensi untuk bekerja di Eropa.
“Mengacu pada kemampuan diklat kepelautan di Indonesia, bahwa setiap tahun mampu meluluskan SDM-officers sebanyak 8000 orang, ini merupakan potensi yang tinggi untuk memenuhi permintaan global,” tandasnya lagi.
Dari jumlah armada dalam negeri, kapal berbendera Indonesia mencapai 21.106 unit. Sehingga dari segmentasi tersebut, ungkap Subaidi, kita dapat mengetahui kebutuhan SDM pelaut.
Masih kata dia, berkurangnya lapangan kerja untuk pelaut di dalam negeri karena fakta di lapangan yang menyebutkan bahwa sekitar 30 persen armada kapal Indonesia yang berkondisi laid up.
“Dampaknya, angka pengangguran SDM pelaut di Indonesia pada tahun 2017 amencapai sebanyak 74.000 untuk perwira dan 46.500 untuk rating,” bebernya.
Itu belum termasuk pelaut yang bekerja di kapal-kapal pesiar yaitu sekitar 50.000 orang dan yang onboard sekitar 30.000 orang. Kebanyakan dari mereka pun bekerja untuk catering dan hotel department di bawah naungan industri pariwisata.
“Fakta yang harus diakui bahwa Indonesia tidak kekurangan jumlah pelaut tetapi kita kekurangan Qualified Seafarer,” tegas dia.
Selain itu, ada beberapa fakta yang harus dipertimbangkan, yaitu soal banyaknya perusahaan asing yang sudah lama merekrut pelaut Indonesia, tetapi tidak menambah jumlah pelaut Indonesia untuk diperkerjakan di kapal-kapalnya, meskipun armada mereka bertambah.
Selanjutnya ialah masih banyak perusahaan asing yang enggan untuk merubah bendera kapalnya ke Indonesia pada saat mendapatkan tawaran bisnis di Indonesia. “High risk, merubah bendera ke Indonesia, berarti harus menggunakan pelaut Indonesia berdasarkan azas cabotage. Mereka ragu dengan kualitas pelaut Indonesia,” keluhnya.
Di akhir penjelasannya, ia menyimpulkan bahwa masalah kompetensi dan profesionalitas bagi pelaut adalah hal krusial dalam industri pelayaran.
“Salah satu solusinya kita harus melakukan re-designterhadap sistem pelatihan pelaut kita, mulai dari kriteria seleksi, metode pembelajaran, kemampuan bahasa Inggris, dan skill-skill tambahan lainnya,” pungkasnya.
(Adit/MN)